Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Konsumsi dan Teori Permintaan Dalam Islam


Konsep Konsumsi dan Teori Permintaan Dalam Islam

Konsep Konsumsi dalam Islam
Konsumsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu consume atau bahasa Belanda yakni consumtie yang berarti memakai atau menghabiskan. Konsumsi ialah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Konsumsi itu diartikan sebagai pemakaian barang hasil produksi. Secara luas konsumsi merupakan kegiatan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa, baik secara sekaligus maupun secara berangsur-angsur untuk memenuhi kebutuhan. Orang yang memakai, menghabiskan atau mengurangi kegunaan barang atau jasa disebut Konsumen.
Dalam Ekonomi Islam, Konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsumsi dalam Ekonomi Syariah
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam perekonomian, karena tiada kehidupan tanpa konsumsi berarti mengabaikan kehidupan sekaligus tugas dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsumsi pada tingkat yang layak pada dirinya., keluarganya dan orang paling dekat disekitarnya. Manusia dilarang beribadah secara mutlak tanpa mementingkan kebutuhan jasmani bahkan diperbolehkan mengkonsumsi makanan yang haram ketika dalam kesulitan. Hal ini terkait dengan kaidah Al-Dharar Yuzal kemadharatan harus dihilangkan.
Konsumsi termasuk kategori permintaan, sedangkan produksi adalah penyediaan. Perbedaan antara ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak hanya menekankan pada kepuasan meterialistik semata, tetapi juga aspek kepuasan batiniyah seseorang atau konsumen.

Pada teori konsumsi konvensional:
·         Tujuannya konsumen adalah mencari kepuasan tertinggi
·         Batasan konsumsi adalah kemampuan anggaran. Sepanjang terdapat anggaran untuk membeli barang atau jasa, maka akan dikonsumsilah barang atau jasa tersebut.
Akan tetapi perilaku konsumsi yang demikian tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, hal tersebut hanya menekankan pada aspek utility, bukan yang lain. Sementara dalam ajaran Islam ada beberapa hal yang menjadi titik tekan dalam konsumsi.

Pada teori konsumsi syariah:
·         Konsumsi lebih diarahkan pada aspek masalah bukan utilitas. Pencapaian masalah merupakan tujuan dari syariat Islam (maqashid syariah) dalam Islam dilarang mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan (israf) dalam Islam menekankan bahwa konsumsi dapat dilakukan sepanjang memperhatikan pihak lain yang tidak mampu. Sehingga ditekankan aspek Zakat, Infak,dan Shadaqah. 

Maslahah sebagai Tolak Ukur Konsumsi dalam Ekonomi Syariah
Falah adalah kehidupan yang mulia dan sejahtera didunia dan diakhirat. Falah dapat terwujud apabila kebutuhan-kebutuhan hidup manusia terpenuhi secara seimbang. Tercukupinya kebutuhan masyarakat akan memberikan dampak yang disebut maslahah.
Maslahah adalah segala bentuk keadaan keadaan, baik material maupun non-material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Kandungan maslahah terdiri atas manfaat dan berkah. Dalam konsumsi, seseorang akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen akan merasakan adanya manfaat dalam konsumsi ketika kebutuhannya terpenuhi. Berkah akan diperoleh ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam.

Perilaku Konsumsi dalam Ekonomi Syariah
Teori perilaku konsumen (consumer behavior) memelajari bagaimana manusia memeilih diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya (resources) yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Bentham, sebagaimana dikutip Mustafa Edwin Nasution, mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri.
Selanjutnya, Jhon Stuart Mill dalam buku ob liberty (1859) mengatakan bahwa campur tangan negara didalam masyarakat manapun harus diusahakan seminimum mungkin. Tokoh yang terakhir ini menggungkapkan konsep feedom of action sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia.

Norma dan Etika dalam Konsumsi
Nilai-nilai Islam yang harus diaplikasikan dalam konsumsi adalah :
1. Seimbang dalam Konsumsi.
Islam mewajibkan kepada pemilik harta agar menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan diri, kelurga, dan fi sabilillah. Islam mengharamkan sikap kikir.
Disisi lain Islam juga mengharamkan sikap boros dan menghamburkan harta. Ini lah bentuk keseimbangan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an yang mencerminkan sikap keadilan dalam konsumsi. Seperti yang diisyaratkan dalam QS Al-Isra’ ayat 29 yang artinya ‘’Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada pundakmu dan jaganlah kamu terlalu mengeluarkannya karena itu akan menjadikan kamu tercela dan menyesal’’.

2. Membelanjakan harta pada bentuk yang dihalalkan dengan cara yang baik.
Islam mendorong dan memberikan kebebasan kepada individu agar membelanjakan hartanya untuk membeli barang-barang yang baik dan halal dan memenuhi kebutuhan hidup. Kebebasan itu diberikan dengan ketentuan tidak melanggar batas-batas yang suci serta tidak mendatangkan bahaya terhadap keamanan dan kesejahtraan masyarakat dan negara.
Abu al A’la Al-Maududi menjelaskan, Islam menutup semua jalan bagi manusia yang membelanjakan hartanya yang mengakibatkan kerusakan ahlak ditengah masyarakat, seperti judi yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Dalam QS. Al- Maidah ayat 88 yang artinya “Dan makanlah makanan yang halal baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.

3. Larangan bersikap Israf (royal) dan Tabzir (sia-sia)
Nilai akhlak yang terdapat dalam konsep konsumsi adalah pelarangan terhadap sikap hidup mewah. Ali Abd ar- Rasul juga menilai dalam masalah ini bahwa cara hidup mewah (Israf) merupakan faktor yang memicu dekafdensi moral masyarakat yang akhirnya membawa kehancuran masyarakat tersebut. Bagi Afzalur Rahman kemewahan (Israf) merupakan berlebih-lebihan dalam kepuasan pribadi atau membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak perlu. Dalam QS. Al-A’raf ayat 31 yang artinya “Hai anak adam pakailah pakaian yang indah disetiap memasuki masjid, makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”.

Teori Permintaan Islami
Hal penting yang harus dicatat adalah bagaimana teori ekonomi yang dikembangkan barat membatasi analisisnya dalam jangka pendek yakni hanya sejauh bagaimana manusia memenuhi keinginanya saja. Tidak ada analisis yang memasukan nilai-nilai moral dan sosial. Analisis hanya dibatasi pada variable-variable pasar semata seperti harga, pendapatan dan sebagainya. Variable-variable lainnya tidak dimasukkan seperti variable nilai moral seperti kesederhanaan, keadilan,sikap mendahuluikan orang lain, dan sebaginya. Disini kita akan membahasa bagaimana agama islam mengatur tentang konsumsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi hukum permintaan yang telah kita pelajari.

Dalam ekonomi islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak terlepas dari nilai-nilai moral dan agama karena setiap kegiatan senantiasa dihubungkan dengan syariat. Al-Qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad(penghematan, ekonomi) yang secara literal berarti “pertengahan” atau “moderat”. Seorang muslim dilarang melakukan pemborosan (ihat Qs. Al-isra’ ayat 26-27). Seorang muslim diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh israf(royal, berlebih-lebihan), tetapi juga dilarang pelit(bukhl).

Disamping manusia harus mengendalikan konsumsinya, agama islam pun menganjurkan pengeluaran untuk kepentingan orang lain,terutama fakir miskin. Bahkan agama islam adalah satu-satunya agama yang mewajibkan pengeluaran untuk kebutuhan orang lain, yakni dalam bentuk zakat. Zakat wajib bagi mereka yang mampu, yang pendapatannya melebihi nisab tertentu. Disamping itu, islam sangat menganjurkan pengeluaran sukarela untuk kepentingan sesama dalam bentuk sifaq,sedekah dan wakaf. Pembahasan ekonomi terhadap sumber daya dapat dihimpun dari kegiatan zakat, infaq, sedekah dan wakaf memperlihatkan potensinya dalam mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan umat. Pengelolaan wakaf tunai dibeberapa negara telah mampu menciptakan suatu kegiatan ekonomi yang menggurita menjadi sumber pendapatan bagibanyak anak manusia.
Adapun aturan islam mengenai bagaimana seharusnya memperlakukan kegiatan konsumsi adalah sebagai berikut:

a. Tidak boleh berlebih-lebihan
Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-an’aam ayat 141”..dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.

b. Mengkonsumsi yang halal dan toyibbah
Konsumsi seorang muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan toyibbah (Qs. Al-baqarah ayat 75). Tidak ada permintaan terhadap barang yang haram. Disamping itu didalam islam, barang yang sudah dinyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memiliki nilai ekonomi, karena tidak boleh diperjual belikan.

Berkaitan dengan aturan pertama tentang larangan berlebih-lebihan, maka barang halal pun tidak dapat dikonsumsi sebanyak yang kita inginkan. Harus dibatasi sebatas cukupnya keperluan, demi menghindari kemewahan, berlebih-lebihan dan kemubaziran.

Hukum Permintaan dan Penurunan Kurva Permintaan
Inilah hukum permintaan yang berbunyi :
“ jika harga barang meningkat , ceteris paribus , maka jumlah barang yang diminta turun , demikian juga sebaliknya “

Pengertian ceteris paribus adalah dengan mengganggap hal-hal lain tetap tidak berubah atau konstan, baik dalam arti tingkat berkah, tingkat manfaat, tingkat pendapatan,preferensi dan sebagainya. Jika satu dari hal-hal lain yang dimaksudkan berubah, maka hukum permintaan tidak berlaku.

Analisis Elastisitas Permintaan
Konsep dasar elastisitas permintaan adalah alat untuk mengukur seberapa peka permintaan akan berubah sebagai respon terhadap perubahan variabel lain, seperti harga barang, pendapatan konsumen, selera, dan sebagainya.

Arga Afik Masa kecil bersama simbah, suka berkelana di sawah, tidak begitu mewah tetapi sangat indah!